Ustadz saya mau tanya, apa hukum jualan menggunakan sistem dropship? Caranya adalah saya menjual barang yang belum ada pada saya ke si A. Begitu si A transfer, saya membeli dari si B dan si B tersebut mengirimkan barangnya ke si A menggunakan nama saya sebagai pengirim. Apakah jual beli seperti ini halal?
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban singkatnya boleh. Lalu bagaimana penjelasannya, mari kita bahas dari awal. Dalam hukum jual-beli, tidak ada syarat yang melarang seseorang menjual barang milik orang lain. Juga tidak ada keharusan seseorang harus punya barang terlebih dahulu, baru boleh dia jual. Jadi prinsipnya, seorang boleh menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya. Dan seseorang boleh menjual 'spek' yang barangnya belum dimilikinya. Cara Pertama : Simsarah Cara ini disebut simsarah, yaitu seeorang menjualkan barang milik orang lain dan dia mendapat fee atas jasa menjualkannya. Akad yang pertama ini disepakati kehalalnya oleh seluruh ulama. Bukankah si penjaga toko biasanya bukan pemilik barang? Barang-barang yang ada di toko itu bukan milik penjaga. Status penjaga cuma karwayan saja, bukan pemilik toko dan juga bukan pemilik barang. Bolehkah penjaga toko menjual barang yang bukan miliknya? Jawabannya tentu 100% boleh. Justru tugas utama si penjual di toko adalah bagaimana menjualkan barang yang bukan miliknya. Kalau penjaga toko menjual barang miliknya sendiri di toko tempat dia bekerja, itu namanya pelanggaran dan dia bisa dipecat oleh bosnya. Dan lebih jauh, ternyata barang yang ada di toko itu pun belum tentu milik bosnya. Karena barang-barang itu ternyata cuma konsinyasi saja. Kalau barang itu laku, uangnya disetorkan, kalau tidak laku, barangnya dikembalikan. Jadi dalam hal ini status toko bukan sebagai pemilik barang, status toko hanya menjualkan barang milik orang lain. Lalu bagaimana dengan hadits berikut ini yang melarang kita menjual sesuatu yang tidak ada pada diri kita?
Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki (HR. Tirmizy, Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Daud)
Hadits ini melarang seseorang menjual barang yang bukan miliknya, maksudnya seseorang menjual barang yang memang dia tidak bisa mengadakannya atau menghadirkannya. Misalnya, jual ikan tertentu yang masih ada di tengah lautan lepas. Tentu tidak sah, karena tidak ada kepastian bisa didapat atau tidak. Atau jual mobil yang bisa terbang dengan tenaga surya. Untuk saat ini masih mustahil sehingga hukumnya haram.
Selain itu para ulama juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam
hadits ini adalah seseorang menjual barang milik orang lain tanpa SEIZIN
dari yang empunya. Perbuatan itu namanya pencurian alias nyolong.
Tapi kalau yang punya barang malah minta dijualkan, tentu saja
hukumnya halal. Dan yang menjualkan berhak untuk mendapatkan fee atas
jasa menjualkan.
Kesimpulannya : Tidak ada larangan menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya barang. Cara Kedua : Akad Salam (Salaf) Cara kedua disebut dengan jual-beli salam, atau akad salam. Terkadan juga disebut dengan akad salaf. Keduanya bermakna sama. Bentuknya merupakan kebalikan dari jual-beli hutang atau kredit. Dalam jual-beli secara hutang atau kredit, barangnya diberikan duluan tetapi uangnya masih dihutang, alias dicicil. Contohnya jual-beli sepeda motor secara kredit. Bila kita beli motor secara kredit, motor langsung kita bawa pulang, padahal uangnya masih ngutang selama tiga tahun. Status motor sudah 100% milik kita, meski pembayarannya masih berjangka. Nah, akad salam adalah kebalikan dari akad kredit di atas. Yang dibayarkan tunai adalah uangnya, sementara barang atau jasanya dihutang. Hukumnya boleh dan sah dalam hukum syariah. Dan sebenarnya setiap hari kita sudah mempraktekkan. Contohnya ketika kita beli tiket pesawat atau kereta api. Menjelang musim mudik, biasanya kita sudah beli tiket sejak sebulan sebelumnya, dan itu berarti kita sudah bayar secara tunai. Tetapi barang atau jasa yang menjadi hak kita baru akan kita nikmati bulan depan, sesuai dengan jadwal perjalanan kita. Contoh lain adalah tukang jualan komputer. Modalnya cuma brosur dan spek (baca : spesifikasi) yang ditawar-tawarkan kepada calon pembeli. Lalu begitu ada yang tertarik, pembeli harus bayar lunas, tetapi komputernya akan dikirim 2-3 hari lagi. Ternyata di tukang komputer itu belum punya komputer, maka dengan uang pembayaran itulah dia berangkat ke Glodok atau Mangga Dua untuk 'belanja' komputer rakitan. Selesai dirakit, maka komputer itu kemudian diantarkan ke pihak pembeli. Contoh lainnya lagi adalah ibadah haji dan umrah. Semua calon jamaah haji dan umrah harus sudah melunasi ONH atau biaya perjalanan umrah beberapa bulan sebelumnya. Padahal berangkatnya ke tanah suci masih beberapa waktu lagi. Semua contoh di atas adalah akad salam, dimana uangnya tunai diserahkan, sementara barang atau jasanya tidak secara tunai diberikan. Dan praktek akad salam ini telah berlangsung di masa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan mendapat pembenaran.
Para shahabat dahulu terbiasa menjual kurma yang belum ada alias
pohonnya belum berbuah. Namun buah yang rencananya akan ada itu sudah
ditetapkan secara detail dengan jenis tertentu, kualitas tertentu,
berat tertentu, dan juga ditetapkan kapan akan diserahkannya.
Tentu kurma dengan spek seperti itu bukan hal yang mustahil untuk
didapat atau diwujudkan, apalagi buat pedagang kurma di Madinah. Mereka
toh sudah punya pohonnya, tiap tahun pasti berbuah. Maka oleh karena
itu hukumnya halal. Dan akad ini disebut akad salam. Meski kurmanya
belum berbuah, tetapi sudah boleh dijual duluan, asalkan speknya jelas
dan pasti.
Dasarnya adalah hadits-hadits berikut ini :
Ibnu Abbas Radhiayallahu 'Anhu berkata bahwa ketika Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa menjual buah kurma dengan
cara salaf satu tahun dan dua tahun. Maka Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,"Siapa
menjual buah kurma dengan cara salaf, maka lakukanlah salaf itu dengan
timbangan yang tertentu, berat tertentu dan sampai pada masa yang
tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdurrahman bin Abza dan Abdullah
bin Auf RA keduanya mengatakan,"Kami biasa mendapat ghanimah bersama
Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam. Datang orang-orang dari negeri syam. Lalu kami melakukan
akad salaf kepada mereka untuk dibayar gandum atau sya’ir atau kismis
dan minyak sampai kepada masa yang telah tertentu. Ketika ditanyakan
kepada kami,"Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”. Jawab kedua sahabat
ini,"Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu”. (HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Al-Abbas berkata, Aku bersaksi
bahwa akad salaf (salam) yang ditanggung hingga waktu yang ditentukan
telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan Dia telah mengizinkannya.
Kemudian beliau membaca ayat ini. (HR Asy-Syafi'i dalam musnadnya)
Dropship Halal
Dari dua cara akad di atas, maka jual beli dropship ini tidak
melanggar ketentuan syariah. Meski kita sebagai penjual belum punya
barangnya, dan modal kita cuma spek saja, tetapi syariat Islam
membolehkan akad seperti ini. Akadnya bisa saja sebagai simsarah, atau
broker. Mungkin yang agak mendekati adalah resaler. Berarti
kita tidak membeli barang atau jasa, kita hanya membantu menjualkan
barang atau jasa orang lain. Lalu kita mendapat fee dari tiap penjualan.
Atau akadnya bisa juga pakai akad kedua, yaitu akad salam. Pembeli
membayar dulu kepada kita atas suatu barang atau jasa yang belum kita
serahkan, bahkan belum kita miliki. Lalu uang pembayarannya itu baru
kita belikan barang yang dimaksud, dan kita jualkan kepada si pembeli,
dimana kita mendapatkan selisih harganya.
Kalau barang itu mau diatas-namakan milik kita juga boleh, karena
kita memang benar-benar membeli dari sumbernya dan kita menjual kembali.
Bahwa barang itu tidak sempat mampir ke tangan kita, tidak menjadi
masalah.
Toh, minyak kelapa sawit yang ada di hutan Kalimantan itu dijual ke
berbagai negara lain (ekspor), tanpa harus mampir ke rumah pemiliknya.
Siapa pemiliknya? Ya, wong londho yang ada di Belanda sana. Mereka cuma
tahu bahwa rekening mereka tiap hari bertambah terus, tanpa pernah
melihat sendiri kayak apa minyak kelapa sawit yang mereka
perjual-belikan.
Hanya saja dalam akad salam ini, harus dipenuhi beberapa syarat dan ketentuan, antara lain :
Syarat Pada Barang
1. Bukan Ain-nya Tapi Spesifikasinya
Dalam akad salam, penjual tidak menjual ain suatu barang tertentu
yang sudah ditetapkan, melainkan yang dijual adalah barang dengan
spesifikasi tertentu.
Sebagai contoh, seorang pedagang material bangunan menjual secara
salam 10 kantung semen dengan merek tertentu dan berat tertentu kepada
seorang pelanggan. Kesepakatannya pembayaran dilakukuan saat ini juga,
namun penyerahan semennya baru 2 bulan kemudian, terhitung sejak akad
itu disepakati.
Walaupun saat itu mungkin saja si pedagang punya 10 kantung semen
yang dimaksud di gudangnya, namun dalam akad salam, bukan berarti yang
harus diserahkan adalah 10 kantung itu. Pedagang itu boleh saja dia
menjual ke-10 kantung itu saat ini ke pembeli lain, asalkan nanti pada
saat jatuh tempo 2 bulan kemudian, dia sanggup menyerahkan 10 kantung
semen sesuai kesepakatan.
Sebab yang dijual bukan ke-10 kantung yang tersedia di gudang, tapi
yang dijual adalah 10 kantung yang lain, yang mana saja, asalkan sesuai
spesifikasi.
2. Barang Jelas Spesifikasinya
Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya, baik kualitas
mau pun juga kuantitas. Termasuk misalnya jenis, macam, warna, ukuran,
dan spesifikasi lain. Pendeknya, setiap kriteria yang diinginkan harus
ditetapkan dan dipahami oleh kedua-belah pihak, seakan-akan barang yang
dimaksud ada di hadapan mereka berdua.
Dengan demikian, ketika penyerahan barang itu dijamin 100% tidak terjadi komplain dari kedua belah pihak.
Sedangkan barang yang tidak ditentukan kriterianya, tidak boleh
diperjual-belikan dengan cara salam, karena akad itu termasuk akad
gharar (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:
Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam melarang jual-beli untung-untungan." (HR Muslim)
3. Barang Tidak Diserahkan Saat Akad
Apabila barang itu diserahkan tunai, maka tujuan utama dari salam
malah tidak tercapai, yaitu untuk memberikan keleluasan kepada penjual
untuk bekerja mendapatkan barang itu dalam tempo waktu tertentu.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam :
Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Qadhi Ibnu Abdil Wahhab mengatakan bahwa salam itu adalah salaf,
dimana akad itu memang sejak awal ditetapkan untuk pembayaran di awal
dengan penyerahan barang belakangan.
4. Batas Minimal Penyerahan Barang
Al-Karkhi dari Al-Hanafiyah menyebutkan minimal jatuh tempo yang
disepakati adalah setengah hari dan tidak boleh kurang dari itu.
Ibnu Abil Hakam mengatakan tidak mengapa bila jaraknya 1 hari.
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa minimal jarak penyerahan barang adalah 2 atau 3 hari sejak akad dilakukan.
Ulama lain menyebutkan minimal batasnya adalah 3 hari, sebagai qiyas dari hukum khiyar syarat.
5. Jelas Waktu Penyerahannya
Harus ditetapkan di saat akad dilakukan tentang waktu (jatuh tempo)
penyerahan barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam :
Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Para fuqaha sepakat bila dalam suatu akad salam tidak ditetapkan
waktu jatuh temponya, maka akad itu batal dan tidak sah. Dan
ketidak-jelasan kapan jatuh tempo penyerahan barang itu akan membawa
kedua-belah pihak ke dalam pertengkaran dan penzaliman atas sesama.
Jatuh tempo bisa ditetapkan dengan tanggal, bulan, atau tahun
tertentu, atau dengan jumlah hari atau minggu atau bulan terhitung
sejak disepakatinya akad salam itu.
6. Dimungkinkan Untuk Diserahkan Pada Saatnya
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk
memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan
ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan
untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari'at
Islam.
Misalnya seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga
dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah
durian dan mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain
mengandung unsur gharar (untung-untungan), akad semacam ini juga akan
menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan
dalam islam ialah "memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits
berikut:
Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan. (HR. Ahmad)
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada
saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan
yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan
percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.
7. Jelas Tempat Penyerahannya
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan
tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka
diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan
dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari
ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang
lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur
gharar (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo,
pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari
ladangnya, atau dari perusahaannya.
Demikian sedikit ulasan tentang hukum dropshipping yang Antum tanyakan, semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahamtullahi wabrakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.,MA.
Sumber: www.rumahfiqih.com (dengan editan seperlunya)
|